Judul : Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi
link : Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi
Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi
Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi
Imam Al-Ghazali
SAYA menduga, Anda pasti berhasrat untuk mengetahui penguraian ilmu-ilmu tersebut secara menyeluruh, yakni
sepuluh cabang ilmu sebagaimana telah disebutkan di atas, disamping strata ilmu tersebut dalam konteks jauh-dekatnya dan dengan maksud tujuannya.
Hal ini akan lebih sempurna manakala Anda mengenal pembagiannya dalam dua kategori:
Ilmu-ilmu Shadaf (Lapisan),Ilmu-ilmu Jauhar (Intisari Permata) dan Lubab (Intisari).
Kajian Pertama:Ilmu-ilmu ShadafPerlu Anda ketahui, bahwa hakikat-hakikat yang kami isyaratkan mengandung beberapa rahasia dan mutiara, yang sekaligus memiliki shadaf (lapisan), sebagai awal yang tampak. Mereka yang terlibat dalam kaitan ini, sebagian menyentuh lapisan yang ada di atas lapisan tertentu. Dan sementara yang lain terpancang pada Iapisannya kemudian mendalami mutiara-mutiaranya.
Begitu juga, lapisan “Jawahirul Qur’an” dan kiswah (lapisan kain penutup)-nya, adalah bahasa Arab. Lapisan ini berkembang menjadi lima disiplin ilmu, yang dikategorikan Ilmu Qusyri (ilmu kulit), Ilmu Shadaf (lapisan) dan Ilmu Kiswah (baju ilmu).
Dan segi lafadz-lafadznya berkembang menjadi Ilmu Bahasa.
Dan segi I‘rab (gramatikal) lafadznya berkembang menjadi Ilmu Nahi.Dari segi arah I’rab sendiri menjadi Ilmu Qira’at.
Sedangkan dari segi metode vokal huruffiya, muncul Ilmu Makharijil huruf Sebab bagian pertama dan unsur maknawi yang berpengaruh adalah ucapan, yakni vokal. Suara yang muncul secara tersendiri menjadi huruf. Huruf-huruf tersebut berkumpul menjadi kalimat. Kemudian huruf-huruf yang termanifestasi dalam suatu kumpulan itu menjadi bahasa Arab. Maka, apabila berkaitan dengan pembagian huruf-huruf tersebut, berarti menjadi mu‘rab (terstruktur). Apabila
termanifestasi sebagian arah i’rab, jadilah qira’at (bacaan) yang berhubungan dengan qira’at sab‘ah (tujuh macam qira’at).
Apabila telah menjadi kalimat Arab yang benar secara gramatikal, akan muncul petunjuk terhadap makna-makna, sehingga relevan dengan interpretasi yang dimunculkan.
Ilmu lapisan dari kulit tersebut tidak berdiri dalam satu strata. Bahkan bagi lapisan tertentu ada orientasi terhadap batin di satu pihak yang bersentuhan dengan mutiara, yang hampir serupa dengan mutiara itu, karena memang sangat berdekatan dan bersinggungan secara terus menerus. Di lain pihak, orientasi pada fenomena yang muncul hampir serupa dengan berbagai penghalang itu karena berjauhan dan sama sekali tidak pernah bersinggungan.
Begitu juga lapisan Al-Qur’an, serta wajah yang keluar secara jelas yang berupa suara. Orang yang berkompeten men-tashih makhraj (menyeleksi kefasihan bacaan) huruf disebut sebagai pemilik ilmu huruf, yang juga pemilik ilmu kulit yang jauh dan batin di balik lapisan, apalagi dari mutiaranya sendiri.
Oleh sebab itu, sangatlah bodoh golongan yang mengira bahwa Al-Qur’an itu adalah huruf dan suara, bahkan mereka menegaskan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dengan berargumen bahwa huruf dan suara itu makhluk. Selayaknyalah mereka ini dilempari, atau dihantam pikirannya bahkan dicincang. Mereka tidak layak lagi meneriakkan suaranya terhadap Al-Qur’an, tidak pula menaiki derajat cakrawala nya, kecuali sekadar merambahi kulit-kulit lapis yang jauh. Demikian itu, mengenalkan Anda pada kedudukan ilmu pembaca Al-Qur’an yang tidak tahu kecuali dengan keabsahan makhraj saja.
Setelah itu diiringi dengan ilmu bahasa Al-Qur’an. Termasuk di sini misalnya, penerjemahan Al-Qur’an, atau yang sejenisnya berkaitan dengan ilmu lafadz asing Al-Qur’an.
Strata berikutnya yang dekat dengan ilmu i’rab bahasa, yaitu ilmu nahwu. Ilmu ini datang setelah ilmu bahasa, karena memang bersandar terhadap disiplin bahasa itu sendiri.
Selanjutnya adalah ilmu qiraat, yang mengenalkan arab gramatikal dan teknik vokal. Ilmu ini lebih terspesifikasi pada Al-Qur’an dibandingkan bahasa dan nahwu. Tetapi ilmu ini tergolong tambahan di bawah bahasa dan nahwu. Pemegang ilmu bahasa dan nahwu kadarnya lebih tinggi ketimbang orang yang tidak mengetahui, kecuali sekadar ilmu qira’at.
Semuanya itu sebenamya masih berputar-putar pada lapisan dan kulitnya, walaupun berbeda-beda stratanya.
Strata terakhir dan ilmu lapisan yang bersentuhan dengan mutiara Al-Qur’an adalah ilmu tafsir secara dzahiriyah. Ilmu tafsir ini nyaris menyerupai mutiara tersebut, sehingga muncul dugaan kuat bahwa ilmu tafsir ini merupakan mutiaranya. Tidak ada yang lebih berharga ketimbang ilmu tafsir. Pandangan demikian bahkan diterima oleh banyak orang. Betapa besar penghalang pemikiran mereka, karena menduga bahwa tidak ada lagi ilmu di balik ilmu tafsir itu sendiri. Namun penegak disiplin ini tergolong paling mulia di antara mereka yang mendalami ilmu-ilmu Iapisan. Sebab ilmu tafsir tidak dimaksudkan untuk mencapai ilmu lapis yang lain, justru sebaliknya ilmu-ilmu lapisan itu dimaksudkan sebagai instrumen untuk penafsiran. Masing-masing strata tersebut, manakala mampu menegakkannya dengan prasyarat disiplin ilmiahnya dan menyampaikan secara benar, berarti kita harus menyukuni atas kemampuan dan orientasi mereka.
Rasulullah Saw. bersabda, “Allah akan melihat kebaikan seseorang, yang mendengarkan ucapanku, kemudian menjaga dan menyampaikannya seperti Ia telah mendengarkannya. Banyak orang yang mengemban fiqih (agama) kepada orang yang kurang mampu pemahaman agamanya. Dan banyak orang yang paham agama menyampaikan kepada seseorang, dan lebih mampu menghayati keagamaan itu.”
Mereka mendengarkan dan menyampaikan. Mereka mendapatkan pahala memegang amanat agama dan menyampaikan. Disampaikan kepada orang yang lebih faqih agamanya dibanding mereka, atau kepada orang yang tidak memahaminya. Seorang ahli tafsir yang membatasi diri dalam ilmu tafsir, menurut konteks tersebut, berarti statusnya sebagai pendengar dan penyampai, seperti seorang hafidz Al-Qur’an atau hadis, adalah sebagai pembawa dan penyampai belaka.
Disiplin ilmu hadis pun bercabang pada bagian-bagian tersebut. kecuali bidang qira’at, tashih makhraj. Derajat seorang hafidz setaraf dengan derajat pengajar Al-Qur’an yang menghafal Al-Qur’an. Dan derajat orang yang mengetahui makna lahiriah hadis sejajar dengan derajat Seorang ahli tafsir. Sedangkan derajat pakar yang paham ketokohan Rawi, sederajat dengan ahli bahasa dan nahwu. Sebab sanad (kesinambungan riwayat) dan riwayat merupakan alat transmisi. Perilaku mereka dalam status sifat adilnya merupakan syarat bagi alat penukilan. Pengetahuan dan perilaku mereka dikembalikan pada pengetahuan mengenai alat dan syarat alat. Semua ini termasuk ilmu lapisan.
Kajian Kedua: Ilmu-ilmu Lubab, yang Terdiri Dua Tingkatan
Pertama, Tingkat Terbawah (At-Thabaqatus Sufla).
Kedua, Tingkat Teratas (At-Thabaqatul Ulya).Tingkat Terbawah, terdiri dari tiga bagian:
Pertama: Pengetahuan kisah-kisah Al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengan para Nabi, hal-hal tentang para pembangkang dan musuh Allah. Ilmu ini diemban oleh para sejarawan, penasehat dan sebagian ahli hadis. Ilmu ini bukan tergolong kebutuhan umum.
Kedua: Tentang argumentasi terhadap orang-orang atheis. Dalam bidang lni bercabangkan ilmu kalam, untuk meng-counter golongan sesat dan bid’ah, disamping menghapus syubhat. Mereka yang terlibat di sini adalah ahli kalam. Secara khusus bidang ini kami kaji dalam kitab Ar-Risalalul Qudsiyah dan kitab Al-Iqtishadfil I‘tiqad.
Maksud ilmu ini untuk menjaga akidah orang-orang awam dan keraguan bid’ah. Ilmu ini tidak cenderung membuka hakikat-hakikat terdalam. Termasuk dalam kerangka ini, kami tulis sebuah kitab Tahafitul Falasfah. Sementara kitab yang kami sajikan untuk menghantam orang-orang penganut aliran kebatinan adalah Al-Mustadzhiri dan Hujjatul Haq wa Qawashimul Bathiniyah, serta kitab Mufashalul Khilaf fi Ushuliddiin. Ilmu tersebut merupakan alat untuk mengenal metode argumentasi melalui pembuktian yang hakiki. Bahkan kami tulis dua kitab, Mahakkun Nadzri dan kitab Mi‘yarul Ilmi, yang secara khusus tidak pernah diuraikan secara argumentatif oleh pakar fiqih maupun ahli kalam.
Ketiga: Ilmu hukum berkaitan dengan masalah harta-benda dan Wanita, sebagai upaya menjaga kelestarian jiwa dan keturunan. Ilmu ini ditekuni oleh para fuqaha’. Ilmu mi termasuk seperempat dari muamalat dalam fiqih. Ilmu hukum ini juga berkaitan dengan posisi dunia wanita, sebagai bagian sudut dari munakahah. Disamping itu, juga hal-hal yang berkaitan dengan masalah pidana, sebagai upaya menjaga dari kerusakan. IImu-ilmu tersebut merupakan kebutuhan umum berkaitan dengan kemaslahatan duniawi, yang diikuti kemudian dengan kemaslahatan ukhrawi.
Para pakar di bidang ilmu ini mempunyai keistimewaan popularitas dan kharisma. Mereka lebih maju dibanding penasihat, sejarawan dan ahli kalam. Karenanya, ilmu ini mempunyai kajian secara kontekstual, sehingga muncul berbagai karya, apalagi yang menyangkut khilafiyah. Hanya saja soal perbedaan pendapat yang terjadi di dalamnya, lebih banyak mendekati kebenaran ketimbang kesalahan. Sebab, setiap mujtahid bisa dikatakan mendekati kebenaran, dengan kata lain mendapat satu pahala, manakala salah. Dan mendapatkan dua pahala manakala ijtihadnya benar.
Tetapi karena unsur popularitas dan status kepangkatan semakin berkembang jauh, cabang-cabang ilmu ini pun akhimya ikut mengalami penyimpangan. Karena itu, kami sodorkan beberapa karya mengenai mazhab secara sistematik dalam Kitab: Al-Wasith; Al-Basith dan Al-Wajiz, dengan menjauhkan penyimpangan dan disiplin tersebut. Secara ringkas kami tulis sebuah kitab Khulashatul Mukhtashar, sebuah kitab keempat dari disiplin yang sama, yang lebih kecil dan ringkas.
Ulama-ulama generasi awal memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah, dan mereka berusaha untuk selalu menjaganya. Mereka pun lebih relevan dengan kebenaran, atau jika tidak mampu, mereka maukuf’ (menghentikan pembahasannya) dan berkata, ‘Kami tidak tahu’. Mereka tidak menghabiskan usianya kecuali sibuk dengan prioritas-prioritas terpenting, dan mengupayakan agar dapat diserap oleh orang lain.
Demikianlah orientasi pengembangan fiqih dan Al-Qur’an. Dari Al-Qur’an, hadis dan fiqih, mengembang jadi ushul fiqih, sebagai metode rujukan kaidah-kaidah penyimpulan dalil terhadap ayat dan hadis atas hukum-hukum Al-Qur’an.
Tingkat para sejarawan dan ahli nasihat berada di bawah para fuqaha dan mutakalimin (ahli kalam) sepanjang mereka hanya berkutat pada disiplin sejarah belaka. Sementara tingkatan seorang ahli fiqih hampir Se- banding dengan ahli kalam. Hanya saja kebutuhan umum terhadap fiqih lebih merata. Sementara terhadap ahli kalam lebih penting. Kedua-duanya dibutuhkan demi kebaikan dunia. Ahli fiqih berfungsi menjaga hukum-hukum khusus berkaitan harta dan pernikahan. Sementara para pakar kalam berkompeten menjaga agama dan tindakan dari ucapan orang-orang bid’ah melalui argumentasi dan diskusi, agar keburukan dan kejahatan mereka tidak sampai pada taraf membahayakan ummat (Islam).
Apabila dikaitkan dengan metode dan tujuan, maka peranan para fuqaha adalah seperti tugas para penjaga jalan menuju Mekkah, untuk aktivitas haji. Sementara ahli kalam, seperti layaknya pembersih jalan dan penjaga bagi orang-orang yang berhaji.
Mereka itu semua apabila disandarkan pada pekerjaannya, merupakan pekerjaan menuju jalan Allah Swt. dengan menjaga jiwa, berangkat meninggalkan dunia, untuk menghadap kepada Allah Swt. Keutamaan mereka pada yang lainnya, seperti keutamaan matahari atas rembuIan. Apabila mereka menyimpang, maka derajat mereka akan turun drastis.
Tingkat Teratas:Tingkat teratas dari Al-Libab, adalah intisari dan dasar ilmu-ilmu utama. Yang termulia di antara ilmu-ilmu ini adalah ilmu tentang Allah Swt. dan Hari Akhir. Karena memang itulah tujuan ilmu tersebut. Baru kemudian ilmu tentang shirathal mustaqim dan metode ibadat, yakni mengenal pembersihan jiwa, mencegah munculnya dampak sifat-sifat yang merusak (al-muhlikat), kemudian dihiasi dengan sifat-sifat yang membawa keselamatan (al-munjiyat). Kami telah memberikan uraian secara khusus perihal ilmu ini dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
Sementara dari sudut al-muhlikat, berisi uraian tentang pembersihan jiwa dan sifat-sifat buruk yang muncul dari nafsu seperti kejahatan dan amarah, takabur dan riya’, ujub, dengki, cinta pangkat dan harta, serta yang lainnya. Sedangkan dan sudut al-munjiyat (yang menyelamatkan) berkaitan dengan hal-hal yang tampak dari perhiasan jiwa, antara lain sifat-sifat yang terpuji, seperti zuhud, tawakal, ridha, mahabbah, shidiq, ikhlas dan sebagainya.
Secara global kitab Ihya mengandung empat puluh bab. Setiap bab memberikan petunjuk kepada Anda mengenai dampak-dampak dari nafsu; termasuk kandungannya mengenai solusi memotong keinginan nafsu; bagaimana menyingkap tabir yang ditutupi nafsu dan bagaimana menghapus tabir tersebut. Ilmu ini posisinya di atas ilmu fiqih dan kalam. Sebab ilmu ini merupakan metode ibadat, sebagai instrumen agar amalan ibadat menjadi saleh, sekaligus upaya preventif atas kerusakan-kerusakan yang timbul.
Ilmu yang paling luhur adalah ilmu ma’rifat kepada Allah Swt. Seluruh ilmu pengetahuan pada akhirnya bermuara pada ma’rifatullah, namun tidak sebaliknya. Metode pencapaiannya. melalui upaya secara sungguh-sungguh menghayati Af’al Allah menuju pada sifat-sifat Allah. Dan dan sifat-sifat tersebut menuju Dzat Allah. Kandungannya terdiri dan tiga derajat:
Kedudukan tertinggi adalah ilmu Dzat. Ilmu ini tidak banyak dipahami. Karena itu ada hadis yang berbunyi: “Berpikirlah kalian dalam penciptaan Allah, dan jangan berpikir kalian dalam Dzat Allah.“
Struktur berpikir demikian mengisyaratkan sistematika Rasulullah Saw. dalam menganalisa dan memandangnya, sebagaimana dalam sabdanya: “Aku berlindung dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu.” Sistem ini termasuk kategori analisa terhadap sistem kerja Allah. Kemudian disusul dengan sabdanya: “Aku berlindung dengan ridha-Mu dari dendam-Mu.” Ucapan ini tergolong analisa dan sifat-sifat-Nya. Dan sabdanya pula: “Aku berlindung dengan-Mu dari (siksa)-Mu.” Inilah termasuk dalam bagian analisa dzat. Dan secara sistematik senantiasa beranjak dari satu derajat menuju derajat yang lebih tinggi, sampai akhimya menuju suatu pengakuan atas ketakberdayaan: “Aku tidak mampu menghilung pujian atas Engkau, sebagaimana Engkau memuji atas diri-Mu.”
Pernyataan ini tergolong ilmu paling mulia.
Dua ilmu tersebut diikuti dengan ilmu akhirat, yang kami sebut dengan ilmu mi‘ad yang sangat erat kaitannya dengan ilmu ma’rifat, dimana proyeksinya justru tertutupi oleh ketakberdayaan atas ilmu itu sendiri.
Ilmu-ilmu yang terdiri dari: ilmu Dzat, ilmu Sifat, ilmu Af’ai, dan ilmu Al-Mi’ad, dari awal hingga akhir yang kami kumpulkan, dengan berbagai jerih payah yang menguras usia yang pendek ini — sementara kesibukan dan bahaya begitu banyak, apalagi dalam pengkajian ini kami dijauhi banyak teman — maka sebagian tulisan mengenai hal itu tidak kami publikasikan. Sebab, akan menyulitkan pemahaman dan melemahkan bagi yang berpikiran lemah, apalagi bagi mereka yang hanya mencatat ilmu-ilmu sekadarnya. Bahkan tidak layak untuk dijelaskan kecuali kepada mereka yang mencapai keyakinan ilmu dzahir, yang telah menempuh ikhtiar dalam memberangus sifat-sifat yang tercela dalam nafsunya, serta mereka yang melakukan mujahadah, hingga hatinya mencapai titik ridha serta istiqamah di jalan yang lurus.
Mereka inilah orang-orang yang tidak lagi memberi bagian dunia dalam dirinya, bahkan tidak ada lagi satu bagian pun kecuali al-haq. Mereka ini telah dikaruniai kecerdasan dan kepemimpinan, kecemerlangan yang menyelamatkan, kecerdasan yang jenius, pemahaman yang jernih. Ilmu ini haram bagi mereka yang memegang kitab tersebut, kecuali mereka yang telah menguasai predikat di atas. Ilmu-ilmu tersebut merupakan kodifikasi ilmu yang terurai dan tersistematisir dari Al-Quran.
sufinews.com
Demikianlah Artikel Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi
Sekianlah artikel Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Penguraian Ilmu-Ilmu Keagamaan Dari Sepuluh Macam Substansi dengan alamat link https://sebuahteknologi.blogspot.com/2013/08/penguraian-ilmu-ilmu-keagamaan-dari.html